Halo, namaku Georgita Audrey Genilia Stewart. Tak usah repot-repot memanggilku Georgita karena sejak SD dulu aku biasa dipanggil Geni, aku anak biasa yang tinggal desa kecil atau lebih tepatnya desa tersembunyi di kota besar sekaligus Liar bernama Washington DC. Sore ini ayahku sudah berjanji akan menjemputku, bukan untuk liburan musim dingin. Tapi, aku memutuskan untuk ikut ayahku tinggal di kawasan Florida dengan keluarga Stewart semenjak ibuku memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang pria asal Arizona berkulit putih bernama George Wiliams. Aku sudah lama menunggu kedatangan ayah di dalam kamarku. Dia bilang aku akan dikuliahkan di sebuah kampus dimana Bibi Emma menyelesaikan S1 nya. Nama kampus itu tak berhasil kuingat, sangat sulit. Tapi siapa peduli, bukan itu yang kuinginkan. aku lebih suka diam di rumah dalam suasana pedesaan sepi di Florida itu.
***
Sebuah mobil pick up berwarna hitam mengkilap melaju di jalanan dengan sangat mulus lalu berhenti di depan sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Geni merasa ayahnya sudah tiba untuk menjemputnya, memang benar, turun seorang pria berbadan besar dari dalam mobil. Dan seorang wanita paruh baya yang mengenakan topi lebar yang seharusnya digunakan saat musim panas menyambutnya. Geni segera menarik koper putihnya dan turun ke bawah.
"I will miss You, my dear" ucap wanita itu matanya berkaca-kaca seperti akan menangis. Tangan Geni memegang tangan wanita itu sambil tersenyum manis
"Me too Mom, I'll be back at June, I Promise" ucap Geni
"Pastikan kau kemari dengan membawa seorang pemuda sebagai kekasih sekaligus pendamping hidupmu"
Geni mengangguk "akan kuusahakan"
Pria itu memasukan koper Geni ke bagasi mobilnya lalu masuk ke dalam mobil. Geni menoleh ke arah pria itu lalu memeluk ibunya untuk terakhir kalinya. Sekali lagi, wanita itu membisikan kata yang sama seperti yang 5 menit yang lalu dia ucapkan.
Ban mobil berputar cepat, jalanan basah dan lembab saat itu. Geni menatap keluar mobil sambil menggigiti kukunya. Gadis cantik itu masih belum percaya bahwa dia akan meninggalkan Washington DC hari ini.
"Kau sudah dewasa" ucap pria itu perlahan, tapi terdengar sangat jelas. Geni tak menoleh sedetikpun. Dia hanya tersenyum sambil terus menatap keluar. Sebenarnya Geni adalah gadis pendiam keturunan Florida - Indonesia. Kedua orangtuanya berbeda keyakinan. Sampai akhirnya ketika keduanya memutuskan bercerai saat ulang tahun ke 15nya, sang ibu berpindah keyakinan menjadi Protestan karena saat itu dia sudah menjadi kekasih dari orang Arizona itu. Sejujurnya dan jika saja Geni bisa mengatakan apa yang dia rasakan, dia akan bilang "mustahil untuk percaya dengan semua ini, kau tau.. Ini lebih MENJENGKELKAN saat kau tau dan melihat salah satu orang tua mu tidur satu ranjang dengan orang asing di kamarmu, dan bercumbu di dalam mobil saat kau mengerjakan PR di ruang tengah". Tapi, Geni tak pernah berusaha untuk mengungkapkannya, dia lebih suka diam dan diam.
***
Aku dan Ayah selamat sampai di Florida, dia bilang aku akan memiliki seorang kaka di rumah nanti. Bukan kaka sesungguhnya, dia kaka sepupuku. Kristen Stewart, orang yang memerankan Isabella Swan di film layar lebar Twilight. Kudengar, dia mengambil rehat selama beberapa bulan. Aku sungguh bersyukur akhirnya aku memiliki teman bicara dan curhat seperti saat dia belum bermain di film Vampir itu dan menjadi artis dengan bayaran mahal. Kuakui aktingnya sangat bagus di film itu, aku juga termasuk penggemar novelnya, jadi aku tak pernah menolak ajakan siapa saja untuk menonton film ka Kristen.
Ayah bilang sebentar lagi aku akan tiba di rumah yang hampir mirip bentuknya dengan sebuah akuarium bulat tempatmu menyimpan ikan Koki di kamarmu. Tidak bulat sepenuhnya memang, tapi seperti yang kubilang tadi. Hanya mirip.
***
Taksi itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang letaknya di sekitar tebing. Rumah itu memiliki halaman yang sangat luas, bisa mungkin kau membuat 2 buah lapangan sepak bola disana. Geni keluar dari mobil taksi itu dan mengalungkan scarf di lehernya.
"Astaga dingin sekali Florida ini" ucapnya dalam hati.
Dia melangkah mendekati pintu yang dilapisi pagar besi sambil terus merapatkan jaketnya dan menggenggam kuat tas selendang warna abu-abu yang dia gunakan. Rambut coklat tuanya tertiup angin dia sungguh cantik, saat akan menekan bel, terdengar suara kunci dibuka dia kembali memasukan tangannya ke dalam saku, seorang gadis yang lebih dewasa dari Geni membuka pintu dan membukakan pagar besinya dia tersenyum sambil menyapa Geni. Wajahnya sangat mirip dengan Geni yang berbeda hanya matanya yang coklat tua, sedangkan Geni Biru mencolok, bahkan saat terkena sinar matahari atau lampu bisa berubah menjadi abu-abu.
"Kau sudah dewasa sekarang, Geni, masih pendiam seperti dulu?" Tanya Gadis itu, Geni tersenyum sambil mengangguk pelan. Mereka berpelukan,
Ayah Geni menceritakan seperti apa suasana di sekolah Geni nanti, tapi Geni berpura-pura terlihat tertarik padahal tidak sama sekali. Ka Kristen kembali dari kamarnya dengan rambut dikuncir dan sweater putih susu serta celana hotpan yang terbuat dari jeans.
"Om, apa tak sebaiknya, Geni beristirahat dulu.. Aku tau dia kelelahan. Biarkan dia sendiri yang merasakan kuliah di kampus itu" ucap Kristen sambil tersenyum.
***
Esok harinya, dengan tak berbekal pengalaman mengemudi sedikitpun walau aku sudah memiliki SIM ayah memberikanku sebuah mobil untuk mempercepat perjalananku menuju kampus itu. Mobilnya kurasa terlalu mewah untuk ukuran gadis sepertiku, bayangkan saja gadis berusia 18 tahun dibiarkan mengendarai Range Rover di jalanan terjal yang akan kau temui di kawasan pegunungan atau bukit. Apalagi gadis ini baru mendapatkan SIM kemarin.
Untungnya aku selamat sampai di kampus itu. Aku mengambil jurusan Psikologi,aku memiliki impian untuk menjadi seorang Psikolog suatu hari nanti, ka Kristen bilang aku akan bertemu banyak temannya disana. Ternyata benar di parkiran saja aku sudah bertemu sang kaka kelas yang sangat kukenal dan biasa kulihat di layar kaca. Taylor Swift dan Demi Lovato sedang berbincang sambil bersandar di sebuah mobil jaguar. Aku memarkirkan mobilku di tempat kosong lalu keluar.
Kamu menggendong tas gendongku di bahu sebelah kiri, sesaat aku terdiam dan membenarkan letak Bandana yang kugunakan. Aku menarik nafas panjang dan menyebrangi tempat parkiran untuk sampai di bangunan kuno -- menurutku -- yang ada di depanku saat itu.
Seorang pria memakai kemeja warna hijau mendekatiku, dia terus mendekatiku, tak lama dia mengajakku bicara
"Gadis dari keluarga Stewart itu?" Katanya
"Begitulah"
"Kenalkan aku Matsuyama, Matsuyama Kenichi" dia mengulurkan tangannya, akupun menyambutnya
"Geni, Genilia Stewart"
Lelaki berambut agak berantakan itu menampakan senyumnya, tak lama bel berdering, aku segera mengambil tanda izin masukku ke kelas pertamaku hari itu. Aku sekali lagi mengambil nafas cukup panjang, lalu melangkah masuk ke kelas itu. Beruntung, pelajaran belum dimulai.
***
Seisi kelas memperhatikan kedatangan Geni yang tiba-tiba. Geni menghentikan langkahnya sebentar, dia melihat sekeliling lalu kembali berjalan mendekati dosen.
"Kau dapatkan tanda masuknya" tanya dosen berkacamata itu
"Iya" jawab Geni singkat dia memberikan kertas itu, Dosen itu memperhatikan kertas putih itu, kamu menunggu di sisi kiri mejanya, sambil memperhatikan isi kelas. Seorang pria berambut golden blonde menatap Geni serius. 2 anak laki-laki dibelakangnya saling berbisik, kamu menghela nafas.
"Kamu duduk di.... Sebelah Justin, anak itu.. Silahkan" perintah dosen itu. Kamu mendekati bangku di dekat jendela itu. Anak yang disebutkan bernama Justin itu menggeser tas dan letak duduknya menjadi mendekati kaca, Geni duduk di sebelahnya. Lalu mengeluarkan buku tulis serta buku yang berisi tentang teori-teori kondisi psikolog manusia dari dalam tasnya.
Kamu konsentrasi memperhatikan dosen sedangkan anak bernama Justin itu terus memperhatikanmu, sesekali dia tersenyum. Anak laki-laki yang dibelakangnya tiba-tiba memukul kepalanya menggunakan pensil yang dipegangnya
"Apa-apaan kau?!" Hardik Justin dengan suara setengah berbisik
"Perhatiin dosen ngomong apa, jangan merhatiin cewe" ledek anak itu.
Geni menatap Justin, dan membuat Justin salah tingkah. Genipun kembali memperhatikan dosen yang menjelaskan apa itu kepribadian dan sifat dominan.
***
Bel berdering tanda pelajaran selesai, bagi Geni itu bukanlah pelajaran tapi hanya ceramah yang menjelaskan secara panjang lebar bukan menentukan inti masalah yang dibicarakan. Geni membereskan bukunya, lalu berjalan keluar.
Justin membalikkan badannya menjadi menghadap ke 2 anak tadi sambil tersenyum nakal
"Sasaranmu Demi, kau Taylor Swift, aku dia" ucap Justin sambil menatapmu yang berjalan melalui koridor yang ramai. Kamu berniat pergi ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku.
***
Saat ini aku bukannya membaca buku pelajaran, atau apapun yang berhubungan dengan yang dibicarakan penceramah tadi. Aku mengambil buku Khalil Gibran dan membacanya. Saat aku akan mengambil air minumku di daun kaca aku melihat Justin menatapku di luar sana, sambil tersenyum. Aku menggelengkan kepalaku, lalu meminum minuman tadi dan kembali membaca. Saat aku kembali melihat keluar, Justin tak ada disana lagi. Dan saat aku akan kembali membaca aku merasa ada sesuatu yang memperhatikanku. Saat aku mendongkakan kepalaku benar saja Justin ada disana. Dengan kepala penuh dengan salju.
"Hay" sapanya
"Bisakah tidak berisik saat di perpustakaan" jawabku ketus
"Aku tak berniat menganggumu ko," katanya
"Apa kau tak bisa baca peraturan? Dilarang berisik di perpustakaan"
"Aku bisa membacanya tapi aku tidak memperdulikannya"
Aku menyimpan buku tadi di atas meja, mengambil minumanku, lalu berjalan keluar meninggalkan Justin. Dia mengejarku sampai di parkiran. Aku berbalik dan menghadapkan wajahku ke arah wajahnya.
"Ada apa? Tuan Bieber?" Tanyaku dengan nada sopan
"Sudahlah, sampai jumpa besok" Justin terlihat ragu untuk melambaikan tangannya dia menyebrangi parkiran lalu masuk ke mobil Rangenya yang letaknya tepat di depan mobilku. Aku menghiraukannya dan langsung masuk ke dalam mobil.
***
Tak terasa hari berlalu begitu cepat, kini Geni sangat dekat dengan 2 kaka kelas yang bertemu dengannya di parkiran seminggu yang lalu.
"Kulihat seminggu ini, kau ketus sekali pada Justin, kau dendam padanya?" Tanya Demi
"Tidak" jawab Geni singkat dia tersenyum sambil memainkan garpunya di atas piring spagetinya
"Lalu?" Tanya Taylor
"Aku rasa dia bukan lelaki yang baik, dan aku tak suka kepribadiannya" jelas Geni
"Apa?! Kau tak suka kepribadian Justin?! Justin Bieber kan yang kau maksud?!" Ucap seorang gadis bernama Selena yang ikut bergabung dengan kalian bertiga. Geni mengangguk, 3 teman sekaligus kaka kelas tak habis pikir dengan jawaban Geni. Mereka saling berpandangan.
"Jika diibaratkan, kau adalah Bella Swan, maka Justin adalah Edward Cullen, kau tau?" Tanya Selena. Kamu bingung mendengar ucapannya
"Kalian itu cocok satu sama lain, kudengar dari Chaz kalian akrab di kelas yaa.. Memang saat pelajaran saja, dan kau juga pandai" lanjut Taylor
"Dan yang paling penting, kau tipenya Justin.. Cantik, pintar, dan menyenangkan, yaaa.. Sisi negativnyaa kau pendiam, dan sulit bergaul kurasa" ucap Demi melanjutkan ucapan Taylor. Geni hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah Justin yang sedang bercanda dengan teman-temannya di belakangnya.
"Saranku, biarkan Justin mengenalmu" saran Selena sambil menepuk pundak Geni
"Kenapa?" Tanyamu
"Karena dia jatuh cinta padamu" ucap Taylor
Kamu tidak percaya dengan ucapannya tapi jika itu memang benar, kenapa harus padaku itu yang dipirkan Geni saat itu.
***
Malam itu Geni bermimpi datang ke sebuah pesta topeng, dia seperti biasa mengobrol dengan Taylor, dan teman-temannya. Tak lama seorang pria yang menggunakan topeng mendekatinya, dan mengajaknya berdansa. Geni menerima ajakannya itu, mereka berdansa tanpa mengenal siapa pasangannya. Saat pesta selesai, Geni melepaskan topengnya, tapi tidak dengan pria itu. Dia pergi tanpa melepaskannya.
Sampai pagi harinya Geni masih penasaran dengan pria bertopeng itu. Dan saat dia akan menyebrang, sebuah mobil pick up muncul dari belokan dan hampir saja menabraknya, tapi dia di selamatkan oleh seseorang yang menarik tangannya. Sesaat sebelum mobil itu berhasil menyentuh tubuh Geni. Saat Geni terhempas ke tanah dia menghilang, seperti tak ada yang menolongnya untuk menghindari pengemudi mabuk dan sialan itu.
***
Kalau boleh bicara, jujur aku penasaran siapa yang sudah menolongku. Aku ingin tau siapa dia, dan mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Dia sudah menyelamatkan hidupku. Aku kembali ke kampus setelah berhasil meyakinkan ayah dan ka Kristen bahwa aku baik-baik saja.
***
Disisi lain,
"Justin,Justin, lihat tanganmu sekarang... Sok kaya pahlawan bertopeng si" ucap seorang anak laki-laki memakai behel bernama Christian.
"Yaa.. Aku malu melihat wajah Geni tadi, jadi aku langsung kabur.. Semoga saja, dia tak sadar kalau itu aku?"
"Lo? Kenapa?"
"Kau masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu"
"Aku sidah 15 tahun, dan punya kekasih kau tau? Jadi beritau aku apa alasannya"
"Tetap saja bagiku 15 tahun itu masih bocah!"
"Aaahhh!!! Terserahlah!"
Malam hari, saat itu entah kenapa ingin rasanya Geni berjalan-jalan keluar. Dia berpamitan dengan ayah dan Ka Kristen lalu memasang mantel warna hitamnya, dan tak lupa membawa payung kecil. Untuk melindunginya dari hujan salju nanti.
"Hati-hati di jalan" pesan ka Kristen, Geni mengangguk
***
Saat aku berjalan keluar rumah, jalanan sudah berubah menjadi padang salju. Aku tak yakin dengan sebutan padang Salju. Tapi apa lagi yang bisa mendeskripsikan ke adaan jalan yang disisi-sisinya berubah menjadi tumpukan es putih. Dan pohon-pohon cemara di sekeliling jalan daunnya bukan lagi daun yang biasa kamu lihat. Tapi menjadi daun es berwarna putih. Kusarankan jangan melakukan tindakan bodoh sepertiku, keluar di saat ramalan cuaca sedang buruk, dan akan turun badai salju di pukul 00:00 pagi nanti.
Nafas yang kuhembuskan menjadi kepulan asap malam itu. Sungguh malam yang dingin, kurasa ini yang selalu dirasakan orang eskimo di kutub utara. Aku mampir ke sebuah mini market di pinggir jalan. Berharap menemukan kopi panas disana. Saat masuk dan mendekati rak minuman aku bertemu dengan orang yang dikatakan Taylor menyukaiku. Dia Justin, pipinya terlihat lebih merah dari hari-hari sebelumnya, entah karena kedatanganku atau memang hari itu hari yang dingin dan yaa.. Bisa juga itu mengakibatkan pipinya memerah. But, Who Knows the truth? Just Justin who knows that.. Dan aku tak begitu berharap bisa tau kenapa.
"Membeli kopi?" Tanyanya, aku mengangguk lalu menatap matanya yang kuakui sangat indah itu. Harus kuakui dia sangat tampan dengan mantel putih dan kupluk merahnya itu. Aku tersenyum, itu bukan tindakan yang diperintahkan otakku. Itu terjadi begitu saja. Wajahnya semakin memerah, diapun berpamitan.
Selesai membayar, aku menyusulnya keluar. Di luar turun salju lumayan lebat, aku memegang tangannya yang dingin.
***
"I'm appologise" ucap Geni pelan
"But, for what? You never hit me? Or anything else" ucap Justin
"I'm sorry, for my attitude.. I know I'm so arrogant" lirih Geni
"Jangan berkata seperti itu? Kamu tidak seperti itu.. Aku harus pergi, sampai jumpa"
"Kau memaafkanku?"
"Ya, aku bahkan sudah memaafkanmu sebelum kau meminta maaf" ucap Justin sambil berjalan pergi.
Geni terdiam di depan mini market dengan kresek putih berisi kopi panas. Tapi dia tidak membutuhkan kopi itu lagi, hatinya terasa sangat hangat. tanpa disadari olehnya wajahnya memerah.. Dia segera membuka payung, lalu berjalan pulang.
***
Esok paginya, diperingatkan bahwa semua pengendara diharapkan berhati-hati karena jalanan sangat licin hari itu. Pagi itu juga, Geni tak berani mengemudi seorang diri. Akhirnya dia diantarkan ka Kristen menuju kampusnya yang kebetulan berdekatan dengan lokasi shootingnya.
Di kelas, semuanya biasa saja.. Sampai saat bel berbunyi tanda pelajaran selesai. Dan saat kamu akan mengambil buku berwarna hijau milik Geni. Dan saat Justin akan mengambil tempat pensil yang dia letakan di sebelah buku hijau itu. Tangan mereka bersentuhan. Geni dan Justin berpandangan
"Maaf, aku tak sengaja" ucap Geni memecah keheningan di antara mereka berdua
"Ya, tidak apa-apa.. Eeem.. Hari ini malam sabtu bukan? Mau kah kamu menemaniku membeli sesuatu malam ini?" Ajak Justin, Geni memakai jaketnya dan diam sebentar.
"Iya bisa" katanya
"Benarkah?? Trims Geni"
"Anytime.. I must go home now.. Can we talk for this via e-mail or text?" Pinta Geni
"Sure, why not?"
"Thanks Justin," ucap Geni sambil bangkit dari tempat duduknya "see you tonight" lanjutnya sambil berjalan meninggalkan kelas.
"Yeah! I Do It!!!!" Teriak Justin dalam hati.
Geni berjalan seorang diri di jalanan sepi sambil memeluk buku hijau tadi, dia melewati parkiran. Justin yang bingung tidak melihatmu menaiki mobil. Memutuskan untuk mengikutimu menggunakan mobilnya. Di sebuah gang kecil dekat pelabuhan dia melihat 2 orang mabuk mencegatnya. Ia berjalan mundur lalu belok ke kiri. Ternyata di sana ada 3 bapa-bapa yang sudah menunggu Geni dan mencegatnya juga disana.
"Please let me go" katanya ketus
"Come on darling, let's drink some cofee" ajak salah satu bapa
"Don't touch me!! Let me go!! I wanna go home!!" Jerit Geni
Tak ada yang mendengarkan, mereka terus mendekat dan merapatkan badannya ke badan Geni. Ia mulai merasa risih. Tak lama muncul mobil Range Rover yang menyerempet mereka dari samping.
Justin keluar dari mobil itu, lalu menarik Geni mundur. Diapun bersembunyi di balik punggungnya
"Pulanglah, aku tak mau memukul kalian semua" ucap Justin, mereka tertawa. Justin menyuruh Geni naik ke mobilnya, dia menurut.
Dari dalam mobil, Geni melihat sebuah perkelahian antara Justin dengan salah seorang dari bapa-bapa itu. Dia melihat salah satu diantara mereka ada yang membawa pisau.
"Oh tidak!" Ucapnya dalam hati, Geni mencari salah satu nada dering di ponselnya yang menyerupai sirine mobil polisi lalu mengencangkan volumenya dan memantulkan suaranya ke bodi mobil agar suaranya lebih kencang. Merekapun kabur, Justin kebingungan lalu menoleh ke arah Geni yang tersenyum sambil memegang ponselnya.
***
"Kenapa si.. Sampai sebegitunya kamu melindungiku, kan jadi lebam-lebam begini" ucap Geni
"Kamu kan wanita, aku harus melindungimu.. Itu salah ya?" Ucap Justin sambil tersenyum
"Tidak si.. Tapi.. Sudahlah"
Justin menatap Geni lembut, dia tersenyum melihat gadis berambut coklat itu mengobati luka-luka kecil di tubuhnya akibat perkelahian tadi.
"Kau tau Geni, apa alasanku melakukan ini semua?" Tanya Justin. Geni menggelengkan kepalanya
"Kenapa?" Tanya Geni
"Akan kukatakan nanti malam" ucap Justin sambil tersenyum.
***
Malam harinya, aku bersiap dengan kaus putih, jaket warna hijau muda, jeans panjang serta sepatu boots kulit milik ka Kristen. Aku tak lupa memakai mantel dan syal malam itu. Aku kembali berpamitan dengan ayah dan ka Kristen.
Justin sudah menunggu di depan rumahku dengan mobilnya. Dia sungguh sangat tampan. Dia mengendarai mobilnya di malam gelap, kami berhenti di sebuah toko buku, dan membaca buku dan membel beberapa buku disana. Malam yang indah, sesaat sebelum pulang. Justin mengajakku bertemu di bukit belakang sekolah. Aku mengkonfirmasi undangannya itu. Kebetulan besok hari libur, tak ada kegiatan apa-apa di rumah.
***
Pagi itu, Geni sudah berdiri di tempat janji, matahari bersinar hari itu, jadi tak perlu jaket atau mantel yang cukup tebal siang itu. Dia sebenarnya datang 30 menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Tak lama Justin muncul dari sebuah belokan
"Am I late?" Tanya Justin
"No, you're not late" jawab Geni
"Come On" Justin menarik tangan Geni menuju hutan kecil di bukit itu.
Mereka mengobrol disana sambil terus berjalan tanpa tau kemana mereka menuju. Ada candaan khas Justin yang terselip di antara obrolan mereka. Dan Baru kali itu Geni merasakan dirinya senyaman dan sebahagia ini. Mereka sampai di sebuah danau yang sangat indah. Justin mengajak Geni untuk duduk disana.
Langit yang sedang mendung kala itu, menambah sensasi keindahan danau tenang di depan mereka berdua. Mereka masih terus mengobrol dan mengobrol. Sampai di satu detik, Justin dan Geni terdiam, entah apa alasan mereka terdiam. Angin lembut menyisir rambut Geni lembut.
"Disini indah sekali.. Selama 3 minggu aku kuliah dan mencari ilmu disini, aku baru tau tempat ini" ucap Geni
"Aku juga baru tau saat ini.. Ini pertama kalinha aku kemari" ujar Justin tanpa mengalihkan perhatiannya padamu sama sekali, Geni tersenyum. Justin membelai rambut Geni lembut.
"Geni, I hace to ask you something" ucap Justin tiba-tiba
"What's that?" Tanya Geni
"Since we met at 6 february 2013.. You know I always thinking of you, and I won't this feeling gone. So, Would you be my Girlfriend, and be a part of my life?" Tanya Justin sambil menggenggam tangan Geni erat dan menatapnya dalam.
Geni agak ragu dengan semua yang dikatakan oleh Justin. Tapi Justin meyakinkannya dengan mengangguk pelan. Geni mengangguk pelan. Dan membuat senyuman mengembang di wajah pemuda asal Canada itu berseri-seri seperti matahari yang baru saja kembali dari persembunyiannya. Geni juga tersenyum
"Thanks Geni, I Love You So Much.." Ucapnya sambil memeluk Geni erat.
***
Aku mengajak Justin berpindah tempat, aku mengajaknya ke suatu tempat yang entah kenapa aku ingin sekali mengajaknya kesana. Hutan itu memang mengerikan dimana akar-akar pohon bermunculan. Dan hitamnya tanah bercampur dengan salju-salju. Pohon-pohon disana juga tidak coklat seperti pohon biasa melainkan hitam seperti habis terbakar.
Justin duduk di atas sebuah akar yang lumayan tinggi, aku berdiri di bawahnya sambil menatap bola mata coklatnya yang sangat indah itu. Dia berdiri dan turun ke akar yang lebih rendah, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"You're so beautifull Geni, you're my misterious girl now?" Ucap Justin
"Misterious? What do you mean?"
"karena sikapmu yang misterius dan cendrung tertutup, sekaligus pendiam itu berhasil menarik perhatianku.. Karena itu aku menjulukimu Misterious Girl" jelasnya sambil tersenyum.
Posisi duduk Justin hanya berbeda 2 centi dengan tinggiku, aku mendekatkan wajahku bermaksud menciumnya, Justin tersenyum dia menyambut ciumanku.
***
Geni pulang diantarkan oleh Justin, sebelum dia turun, Geni meminta agar Justin segera mengenalkan dirinya secara formal pada keluarganya. Tanpa pikir panjang Justin langsung menjawab bahwa detik inipun dia sudah siap.
Geni melangkah masuk, dia menemukan ayahnya dan ka Kristen sedang berbincang di halaman belakang. Mereka berdua langsung menyambut kedatangan Geni. Geni berpelukan dengan Ka Kristen,lalu berkata
"Ayah, ka, ada yang ingin mengenalkann dirinya secara formal pada kalian berdua.. Bisakah kalian menerima kehadirannya?"
"Tentu" jawab ka Kristen
"Siapa dia? Apa dia kekasihmu?" Tanya ayahmu
"Ayah akan tau nanti" jawab Geni agak terbata
"Bawa dia masuk"
Geni mengajak Justin masuk.
"Eeem.. Selamat sore tuan Stewart, Kristen, aku Justin Bieber" ucap Justin "aku.. Teman Genilia"
Geni menatap mata Justin, dia tampak grogi, ayah Geni bangkit lalu berjabat tangan dengan Justin begitu juga dengan ka Kristen. Sementara Geni dan ka Kristen menyiapkan camilan di dapur. Justin berbincang dengan ayahnya
"Kamu berpacaran dengan Justin?" Tanya ka Kristen, Geni mengangguk
"Kuharap dia pertama dan terakhir untukmu Geni" ucapnya lagi sambil mendekap Geni lembut.
***
Singkat cerita, sudah 2 bulan Geni menjalin hubungan spesial dengan Justin. Seluruh kampus mengetahui hal itu, sampai saatnya kampus kalian akan mengadakan pesta dansa di malam minggu, minggu besok. Geni dan Justin janji akan datang kesana bersama-sama.
Keesokan harinya, Justin mengajakn Geni untuk bertemu dengan keluarganya, ia awalnya agak ragu tapi ini harus agar keluarga Justin tau siapa dia sebenarnya dan apa statusnya dengan Justin saat ini.
"Aku keluar dengan Geni dulu ya, Om.. Aku berjanji akan menjaganya selalu" ucap Justin
"Kupegang Janjimu" jawab ayah Geni
***
Aku dan Justin sampai di rumah yang dikatakan Justin sebagai rumahnya di Florida ini. Dia tinggal dengan ibu kandungnya disini. Tadinya bersama ayah dan mama tirinya tapi, kemarin keluarga itu kembali ke Atlanta karena Ayah Justin ada pekerjaan dan adik tiri Justin juga harus melanjutkan kelas musim dinginnya.
Aku berkenalan dengan wanita yang Justin bilang adalah cinta matinya. Aku tersenyum mendengar Justin mengatakan bahwa dia sudah memiliki selingkuhan baru. Itu lelucon yang lucu tapi tidak sopan rasanya bila aku tertawa di saat-saat seperti ini.
Aku menjadi akrab dengan wanita paruh baya yang sudah melahirkan Justin ini, dia sungguh ramah. Aku sangat menyukainya. Dia sosok ibu yang selalu kudambakan muncul dari ibuku yang aneh itu. Bukannya aku bermaksud mengejek ibuku, tapi terkadang dia memang aneh.
Tak lama Justin mengajakku ke sebuah tempat dimana dia sering menyendiri. Di halaman belakang rumah mewah itu tumbuh pohon Felicium yang sangat rindang. Pohon Felicium adalah salah satu pohon faforitku. Pohon besar ini punya keindahan sendiri, dan cocok sekali digunakan untuk teman curhat saat kau sedang sedih. Justin naik ke salah satu dahan yang ada di atasnya, dia menantangku untuk ikut naik. Dan Ok aku menerima tantangannya itu. Sejak kecil dulu aku memang memiliki bakat memanjat pohon, boleh kan aku berbangga untuk hal itu?.
Justin membisikan sesuatu di telingaku yang membuatku geli mendengarnya apa itu? Dia bilang "Your Love is my Drug". Dan bodohnya aku malas membalas perkataan Justin itu dengan menyanyikan bagian reff dari lagu Ke$ha itu. Kami malah bernyanyi bersama.
"Ayo, kita naik lebih tinggi lagi! Tadi hujan kan? Pasti sekarang akan muncul pelangi" ajak Justin. Aku menurut.
Kamu hampir ada di puncak pohon Felicium, dan benar apa yang dikatakan Justin disana ada pelangi, aku berdiri, sambil bersandar di batang terbesar pohon itu. Akupun berkata
"Kau tau Justin? Aku tak pernah sedikitpun percaya apa itu cinta setelah melihat ayahku menangis saat tau ibuku satu ranjang dengan laki-laki lain. aku sampai 2 bulan yang lalu berjanji pada diriku sendiri untuk tak pernah berniat untuk jatuh cinta pada siapapun, dan tertutup untuk pergaulan dengan lelaki" lirihku, Justin memegang daguku
"Aku takkan menyakitimu aku berjanji, jika aku tak bisa menepati janjiku. Lebih baik aku mati" ucap Justin
"Sssttt..." Aku meletakan jari telunjukku di bibir Justin "You are the only exception for me, you are my first love and I hope this is the last love for me" ucapku pelan persis seperti orang berbisik
"I hope too.. I want to spend all of mu life for you Genilia Stewart" ucap Justin sambil mengecup keningku lembut.
***
Di malam pesta dansa saat itu, pintu masuk pria dan wanita dipisah, itu di sengaja ditambah lagi kalian diharuskan memakai topeng yang menutupi daerah mata siapa saja yang memakainya. Disana sangat ramai, Geni yakin akan sangat sulit untuk mencari Justin. Diapun berjalan keluar dan besandar di sebuah gazebo yang disisinya dipasangi lampu kecil dia tak sendiri disana ada puluhan kunang-kunang yang menemaninya disana. Tak lama datang seorang lelaki yang mengajaknya berdansa, dia Justin, Geni mengetahui hal itu. Menerima ajakan Justin berdansa. Di balik pesta liar di dalam ruangan kalian terus berdansa berdua di dalam gazeebo itu.
Sebuah siang yang terik saat Geni sedang tertidur dengan buku khalil Gibran menutupi wajahnya di bukit belakang kampus. Justin mendatanginya dan duduk disamping Geni, dia melepaskan tas punggunya dan ikut berbaring di sebelahnya. Dia pelan-pelan menyingkirkan buku khalil Gibran tadi. Lalu membelai rambut Geni lembut, dia tersenyum. Posisi berbaring Justin lebih atas dibanding Geni. Geni terbangun dan melihat Justin disampingnya kemudian tersenyum.
"Hey Laddy" ucap Justin sambil tersenyum
"Hey Prince"
"Mimpi indah?" Tanya Justin
"Aku bermimpi kita akan terus seperti ini selamanya" kata Geni pelan
"Ooh.. Kalau begitu itu akan segera kubuat jadi kenyaataan." Geni menatap Justin dengan pandangan bingung,
"Karena sampai detik inipun aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu, dan melupakanmu yang selalu muncul di setiap mimpi indahku" rayu Justin
"Gombal deh" Ucap Geni dia bangkit dari posisinya berbaring, Justin ikut bangkit, dia iseng mencium pipi pasangannya itu lalu berlari
"Aaah!! Justiiiin!!!!! What are doing???!!"
"Catch me if you can" ledek Justin
"Ok, if you want that"
-End-
***
Sebuah mobil pick up berwarna hitam mengkilap melaju di jalanan dengan sangat mulus lalu berhenti di depan sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Geni merasa ayahnya sudah tiba untuk menjemputnya, memang benar, turun seorang pria berbadan besar dari dalam mobil. Dan seorang wanita paruh baya yang mengenakan topi lebar yang seharusnya digunakan saat musim panas menyambutnya. Geni segera menarik koper putihnya dan turun ke bawah.
"I will miss You, my dear" ucap wanita itu matanya berkaca-kaca seperti akan menangis. Tangan Geni memegang tangan wanita itu sambil tersenyum manis
"Me too Mom, I'll be back at June, I Promise" ucap Geni
"Pastikan kau kemari dengan membawa seorang pemuda sebagai kekasih sekaligus pendamping hidupmu"
Geni mengangguk "akan kuusahakan"
Pria itu memasukan koper Geni ke bagasi mobilnya lalu masuk ke dalam mobil. Geni menoleh ke arah pria itu lalu memeluk ibunya untuk terakhir kalinya. Sekali lagi, wanita itu membisikan kata yang sama seperti yang 5 menit yang lalu dia ucapkan.
Ban mobil berputar cepat, jalanan basah dan lembab saat itu. Geni menatap keluar mobil sambil menggigiti kukunya. Gadis cantik itu masih belum percaya bahwa dia akan meninggalkan Washington DC hari ini.
"Kau sudah dewasa" ucap pria itu perlahan, tapi terdengar sangat jelas. Geni tak menoleh sedetikpun. Dia hanya tersenyum sambil terus menatap keluar. Sebenarnya Geni adalah gadis pendiam keturunan Florida - Indonesia. Kedua orangtuanya berbeda keyakinan. Sampai akhirnya ketika keduanya memutuskan bercerai saat ulang tahun ke 15nya, sang ibu berpindah keyakinan menjadi Protestan karena saat itu dia sudah menjadi kekasih dari orang Arizona itu. Sejujurnya dan jika saja Geni bisa mengatakan apa yang dia rasakan, dia akan bilang "mustahil untuk percaya dengan semua ini, kau tau.. Ini lebih MENJENGKELKAN saat kau tau dan melihat salah satu orang tua mu tidur satu ranjang dengan orang asing di kamarmu, dan bercumbu di dalam mobil saat kau mengerjakan PR di ruang tengah". Tapi, Geni tak pernah berusaha untuk mengungkapkannya, dia lebih suka diam dan diam.
***
Aku dan Ayah selamat sampai di Florida, dia bilang aku akan memiliki seorang kaka di rumah nanti. Bukan kaka sesungguhnya, dia kaka sepupuku. Kristen Stewart, orang yang memerankan Isabella Swan di film layar lebar Twilight. Kudengar, dia mengambil rehat selama beberapa bulan. Aku sungguh bersyukur akhirnya aku memiliki teman bicara dan curhat seperti saat dia belum bermain di film Vampir itu dan menjadi artis dengan bayaran mahal. Kuakui aktingnya sangat bagus di film itu, aku juga termasuk penggemar novelnya, jadi aku tak pernah menolak ajakan siapa saja untuk menonton film ka Kristen.
Ayah bilang sebentar lagi aku akan tiba di rumah yang hampir mirip bentuknya dengan sebuah akuarium bulat tempatmu menyimpan ikan Koki di kamarmu. Tidak bulat sepenuhnya memang, tapi seperti yang kubilang tadi. Hanya mirip.
***
Taksi itu berhenti tepat di depan sebuah rumah yang letaknya di sekitar tebing. Rumah itu memiliki halaman yang sangat luas, bisa mungkin kau membuat 2 buah lapangan sepak bola disana. Geni keluar dari mobil taksi itu dan mengalungkan scarf di lehernya.
"Astaga dingin sekali Florida ini" ucapnya dalam hati.
Dia melangkah mendekati pintu yang dilapisi pagar besi sambil terus merapatkan jaketnya dan menggenggam kuat tas selendang warna abu-abu yang dia gunakan. Rambut coklat tuanya tertiup angin dia sungguh cantik, saat akan menekan bel, terdengar suara kunci dibuka dia kembali memasukan tangannya ke dalam saku, seorang gadis yang lebih dewasa dari Geni membuka pintu dan membukakan pagar besinya dia tersenyum sambil menyapa Geni. Wajahnya sangat mirip dengan Geni yang berbeda hanya matanya yang coklat tua, sedangkan Geni Biru mencolok, bahkan saat terkena sinar matahari atau lampu bisa berubah menjadi abu-abu.
"Kau sudah dewasa sekarang, Geni, masih pendiam seperti dulu?" Tanya Gadis itu, Geni tersenyum sambil mengangguk pelan. Mereka berpelukan,
Ayah Geni menceritakan seperti apa suasana di sekolah Geni nanti, tapi Geni berpura-pura terlihat tertarik padahal tidak sama sekali. Ka Kristen kembali dari kamarnya dengan rambut dikuncir dan sweater putih susu serta celana hotpan yang terbuat dari jeans.
"Om, apa tak sebaiknya, Geni beristirahat dulu.. Aku tau dia kelelahan. Biarkan dia sendiri yang merasakan kuliah di kampus itu" ucap Kristen sambil tersenyum.
***
Esok harinya, dengan tak berbekal pengalaman mengemudi sedikitpun walau aku sudah memiliki SIM ayah memberikanku sebuah mobil untuk mempercepat perjalananku menuju kampus itu. Mobilnya kurasa terlalu mewah untuk ukuran gadis sepertiku, bayangkan saja gadis berusia 18 tahun dibiarkan mengendarai Range Rover di jalanan terjal yang akan kau temui di kawasan pegunungan atau bukit. Apalagi gadis ini baru mendapatkan SIM kemarin.
Untungnya aku selamat sampai di kampus itu. Aku mengambil jurusan Psikologi,aku memiliki impian untuk menjadi seorang Psikolog suatu hari nanti, ka Kristen bilang aku akan bertemu banyak temannya disana. Ternyata benar di parkiran saja aku sudah bertemu sang kaka kelas yang sangat kukenal dan biasa kulihat di layar kaca. Taylor Swift dan Demi Lovato sedang berbincang sambil bersandar di sebuah mobil jaguar. Aku memarkirkan mobilku di tempat kosong lalu keluar.
Kamu menggendong tas gendongku di bahu sebelah kiri, sesaat aku terdiam dan membenarkan letak Bandana yang kugunakan. Aku menarik nafas panjang dan menyebrangi tempat parkiran untuk sampai di bangunan kuno -- menurutku -- yang ada di depanku saat itu.
Seorang pria memakai kemeja warna hijau mendekatiku, dia terus mendekatiku, tak lama dia mengajakku bicara
"Gadis dari keluarga Stewart itu?" Katanya
"Begitulah"
"Kenalkan aku Matsuyama, Matsuyama Kenichi" dia mengulurkan tangannya, akupun menyambutnya
"Geni, Genilia Stewart"
Lelaki berambut agak berantakan itu menampakan senyumnya, tak lama bel berdering, aku segera mengambil tanda izin masukku ke kelas pertamaku hari itu. Aku sekali lagi mengambil nafas cukup panjang, lalu melangkah masuk ke kelas itu. Beruntung, pelajaran belum dimulai.
***
Seisi kelas memperhatikan kedatangan Geni yang tiba-tiba. Geni menghentikan langkahnya sebentar, dia melihat sekeliling lalu kembali berjalan mendekati dosen.
"Kau dapatkan tanda masuknya" tanya dosen berkacamata itu
"Iya" jawab Geni singkat dia memberikan kertas itu, Dosen itu memperhatikan kertas putih itu, kamu menunggu di sisi kiri mejanya, sambil memperhatikan isi kelas. Seorang pria berambut golden blonde menatap Geni serius. 2 anak laki-laki dibelakangnya saling berbisik, kamu menghela nafas.
"Kamu duduk di.... Sebelah Justin, anak itu.. Silahkan" perintah dosen itu. Kamu mendekati bangku di dekat jendela itu. Anak yang disebutkan bernama Justin itu menggeser tas dan letak duduknya menjadi mendekati kaca, Geni duduk di sebelahnya. Lalu mengeluarkan buku tulis serta buku yang berisi tentang teori-teori kondisi psikolog manusia dari dalam tasnya.
Kamu konsentrasi memperhatikan dosen sedangkan anak bernama Justin itu terus memperhatikanmu, sesekali dia tersenyum. Anak laki-laki yang dibelakangnya tiba-tiba memukul kepalanya menggunakan pensil yang dipegangnya
"Apa-apaan kau?!" Hardik Justin dengan suara setengah berbisik
"Perhatiin dosen ngomong apa, jangan merhatiin cewe" ledek anak itu.
Geni menatap Justin, dan membuat Justin salah tingkah. Genipun kembali memperhatikan dosen yang menjelaskan apa itu kepribadian dan sifat dominan.
***
Bel berdering tanda pelajaran selesai, bagi Geni itu bukanlah pelajaran tapi hanya ceramah yang menjelaskan secara panjang lebar bukan menentukan inti masalah yang dibicarakan. Geni membereskan bukunya, lalu berjalan keluar.
Justin membalikkan badannya menjadi menghadap ke 2 anak tadi sambil tersenyum nakal
"Sasaranmu Demi, kau Taylor Swift, aku dia" ucap Justin sambil menatapmu yang berjalan melalui koridor yang ramai. Kamu berniat pergi ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku.
***
Saat ini aku bukannya membaca buku pelajaran, atau apapun yang berhubungan dengan yang dibicarakan penceramah tadi. Aku mengambil buku Khalil Gibran dan membacanya. Saat aku akan mengambil air minumku di daun kaca aku melihat Justin menatapku di luar sana, sambil tersenyum. Aku menggelengkan kepalaku, lalu meminum minuman tadi dan kembali membaca. Saat aku kembali melihat keluar, Justin tak ada disana lagi. Dan saat aku akan kembali membaca aku merasa ada sesuatu yang memperhatikanku. Saat aku mendongkakan kepalaku benar saja Justin ada disana. Dengan kepala penuh dengan salju.
"Hay" sapanya
"Bisakah tidak berisik saat di perpustakaan" jawabku ketus
"Aku tak berniat menganggumu ko," katanya
"Apa kau tak bisa baca peraturan? Dilarang berisik di perpustakaan"
"Aku bisa membacanya tapi aku tidak memperdulikannya"
Aku menyimpan buku tadi di atas meja, mengambil minumanku, lalu berjalan keluar meninggalkan Justin. Dia mengejarku sampai di parkiran. Aku berbalik dan menghadapkan wajahku ke arah wajahnya.
"Ada apa? Tuan Bieber?" Tanyaku dengan nada sopan
"Sudahlah, sampai jumpa besok" Justin terlihat ragu untuk melambaikan tangannya dia menyebrangi parkiran lalu masuk ke mobil Rangenya yang letaknya tepat di depan mobilku. Aku menghiraukannya dan langsung masuk ke dalam mobil.
***
Tak terasa hari berlalu begitu cepat, kini Geni sangat dekat dengan 2 kaka kelas yang bertemu dengannya di parkiran seminggu yang lalu.
"Kulihat seminggu ini, kau ketus sekali pada Justin, kau dendam padanya?" Tanya Demi
"Tidak" jawab Geni singkat dia tersenyum sambil memainkan garpunya di atas piring spagetinya
"Lalu?" Tanya Taylor
"Aku rasa dia bukan lelaki yang baik, dan aku tak suka kepribadiannya" jelas Geni
"Apa?! Kau tak suka kepribadian Justin?! Justin Bieber kan yang kau maksud?!" Ucap seorang gadis bernama Selena yang ikut bergabung dengan kalian bertiga. Geni mengangguk, 3 teman sekaligus kaka kelas tak habis pikir dengan jawaban Geni. Mereka saling berpandangan.
"Jika diibaratkan, kau adalah Bella Swan, maka Justin adalah Edward Cullen, kau tau?" Tanya Selena. Kamu bingung mendengar ucapannya
"Kalian itu cocok satu sama lain, kudengar dari Chaz kalian akrab di kelas yaa.. Memang saat pelajaran saja, dan kau juga pandai" lanjut Taylor
"Dan yang paling penting, kau tipenya Justin.. Cantik, pintar, dan menyenangkan, yaaa.. Sisi negativnyaa kau pendiam, dan sulit bergaul kurasa" ucap Demi melanjutkan ucapan Taylor. Geni hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah Justin yang sedang bercanda dengan teman-temannya di belakangnya.
"Saranku, biarkan Justin mengenalmu" saran Selena sambil menepuk pundak Geni
"Kenapa?" Tanyamu
"Karena dia jatuh cinta padamu" ucap Taylor
Kamu tidak percaya dengan ucapannya tapi jika itu memang benar, kenapa harus padaku itu yang dipirkan Geni saat itu.
***
Malam itu Geni bermimpi datang ke sebuah pesta topeng, dia seperti biasa mengobrol dengan Taylor, dan teman-temannya. Tak lama seorang pria yang menggunakan topeng mendekatinya, dan mengajaknya berdansa. Geni menerima ajakannya itu, mereka berdansa tanpa mengenal siapa pasangannya. Saat pesta selesai, Geni melepaskan topengnya, tapi tidak dengan pria itu. Dia pergi tanpa melepaskannya.
Sampai pagi harinya Geni masih penasaran dengan pria bertopeng itu. Dan saat dia akan menyebrang, sebuah mobil pick up muncul dari belokan dan hampir saja menabraknya, tapi dia di selamatkan oleh seseorang yang menarik tangannya. Sesaat sebelum mobil itu berhasil menyentuh tubuh Geni. Saat Geni terhempas ke tanah dia menghilang, seperti tak ada yang menolongnya untuk menghindari pengemudi mabuk dan sialan itu.
***
Kalau boleh bicara, jujur aku penasaran siapa yang sudah menolongku. Aku ingin tau siapa dia, dan mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Dia sudah menyelamatkan hidupku. Aku kembali ke kampus setelah berhasil meyakinkan ayah dan ka Kristen bahwa aku baik-baik saja.
***
Disisi lain,
"Justin,Justin, lihat tanganmu sekarang... Sok kaya pahlawan bertopeng si" ucap seorang anak laki-laki memakai behel bernama Christian.
"Yaa.. Aku malu melihat wajah Geni tadi, jadi aku langsung kabur.. Semoga saja, dia tak sadar kalau itu aku?"
"Lo? Kenapa?"
"Kau masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu"
"Aku sidah 15 tahun, dan punya kekasih kau tau? Jadi beritau aku apa alasannya"
"Tetap saja bagiku 15 tahun itu masih bocah!"
"Aaahhh!!! Terserahlah!"
Malam hari, saat itu entah kenapa ingin rasanya Geni berjalan-jalan keluar. Dia berpamitan dengan ayah dan Ka Kristen lalu memasang mantel warna hitamnya, dan tak lupa membawa payung kecil. Untuk melindunginya dari hujan salju nanti.
"Hati-hati di jalan" pesan ka Kristen, Geni mengangguk
***
Saat aku berjalan keluar rumah, jalanan sudah berubah menjadi padang salju. Aku tak yakin dengan sebutan padang Salju. Tapi apa lagi yang bisa mendeskripsikan ke adaan jalan yang disisi-sisinya berubah menjadi tumpukan es putih. Dan pohon-pohon cemara di sekeliling jalan daunnya bukan lagi daun yang biasa kamu lihat. Tapi menjadi daun es berwarna putih. Kusarankan jangan melakukan tindakan bodoh sepertiku, keluar di saat ramalan cuaca sedang buruk, dan akan turun badai salju di pukul 00:00 pagi nanti.
Nafas yang kuhembuskan menjadi kepulan asap malam itu. Sungguh malam yang dingin, kurasa ini yang selalu dirasakan orang eskimo di kutub utara. Aku mampir ke sebuah mini market di pinggir jalan. Berharap menemukan kopi panas disana. Saat masuk dan mendekati rak minuman aku bertemu dengan orang yang dikatakan Taylor menyukaiku. Dia Justin, pipinya terlihat lebih merah dari hari-hari sebelumnya, entah karena kedatanganku atau memang hari itu hari yang dingin dan yaa.. Bisa juga itu mengakibatkan pipinya memerah. But, Who Knows the truth? Just Justin who knows that.. Dan aku tak begitu berharap bisa tau kenapa.
"Membeli kopi?" Tanyanya, aku mengangguk lalu menatap matanya yang kuakui sangat indah itu. Harus kuakui dia sangat tampan dengan mantel putih dan kupluk merahnya itu. Aku tersenyum, itu bukan tindakan yang diperintahkan otakku. Itu terjadi begitu saja. Wajahnya semakin memerah, diapun berpamitan.
Selesai membayar, aku menyusulnya keluar. Di luar turun salju lumayan lebat, aku memegang tangannya yang dingin.
***
"I'm appologise" ucap Geni pelan
"But, for what? You never hit me? Or anything else" ucap Justin
"I'm sorry, for my attitude.. I know I'm so arrogant" lirih Geni
"Jangan berkata seperti itu? Kamu tidak seperti itu.. Aku harus pergi, sampai jumpa"
"Kau memaafkanku?"
"Ya, aku bahkan sudah memaafkanmu sebelum kau meminta maaf" ucap Justin sambil berjalan pergi.
Geni terdiam di depan mini market dengan kresek putih berisi kopi panas. Tapi dia tidak membutuhkan kopi itu lagi, hatinya terasa sangat hangat. tanpa disadari olehnya wajahnya memerah.. Dia segera membuka payung, lalu berjalan pulang.
***
Esok paginya, diperingatkan bahwa semua pengendara diharapkan berhati-hati karena jalanan sangat licin hari itu. Pagi itu juga, Geni tak berani mengemudi seorang diri. Akhirnya dia diantarkan ka Kristen menuju kampusnya yang kebetulan berdekatan dengan lokasi shootingnya.
Di kelas, semuanya biasa saja.. Sampai saat bel berbunyi tanda pelajaran selesai. Dan saat kamu akan mengambil buku berwarna hijau milik Geni. Dan saat Justin akan mengambil tempat pensil yang dia letakan di sebelah buku hijau itu. Tangan mereka bersentuhan. Geni dan Justin berpandangan
"Maaf, aku tak sengaja" ucap Geni memecah keheningan di antara mereka berdua
"Ya, tidak apa-apa.. Eeem.. Hari ini malam sabtu bukan? Mau kah kamu menemaniku membeli sesuatu malam ini?" Ajak Justin, Geni memakai jaketnya dan diam sebentar.
"Iya bisa" katanya
"Benarkah?? Trims Geni"
"Anytime.. I must go home now.. Can we talk for this via e-mail or text?" Pinta Geni
"Sure, why not?"
"Thanks Justin," ucap Geni sambil bangkit dari tempat duduknya "see you tonight" lanjutnya sambil berjalan meninggalkan kelas.
"Yeah! I Do It!!!!" Teriak Justin dalam hati.
Geni berjalan seorang diri di jalanan sepi sambil memeluk buku hijau tadi, dia melewati parkiran. Justin yang bingung tidak melihatmu menaiki mobil. Memutuskan untuk mengikutimu menggunakan mobilnya. Di sebuah gang kecil dekat pelabuhan dia melihat 2 orang mabuk mencegatnya. Ia berjalan mundur lalu belok ke kiri. Ternyata di sana ada 3 bapa-bapa yang sudah menunggu Geni dan mencegatnya juga disana.
"Please let me go" katanya ketus
"Come on darling, let's drink some cofee" ajak salah satu bapa
"Don't touch me!! Let me go!! I wanna go home!!" Jerit Geni
Tak ada yang mendengarkan, mereka terus mendekat dan merapatkan badannya ke badan Geni. Ia mulai merasa risih. Tak lama muncul mobil Range Rover yang menyerempet mereka dari samping.
Justin keluar dari mobil itu, lalu menarik Geni mundur. Diapun bersembunyi di balik punggungnya
"Pulanglah, aku tak mau memukul kalian semua" ucap Justin, mereka tertawa. Justin menyuruh Geni naik ke mobilnya, dia menurut.
Dari dalam mobil, Geni melihat sebuah perkelahian antara Justin dengan salah seorang dari bapa-bapa itu. Dia melihat salah satu diantara mereka ada yang membawa pisau.
"Oh tidak!" Ucapnya dalam hati, Geni mencari salah satu nada dering di ponselnya yang menyerupai sirine mobil polisi lalu mengencangkan volumenya dan memantulkan suaranya ke bodi mobil agar suaranya lebih kencang. Merekapun kabur, Justin kebingungan lalu menoleh ke arah Geni yang tersenyum sambil memegang ponselnya.
***
"Kenapa si.. Sampai sebegitunya kamu melindungiku, kan jadi lebam-lebam begini" ucap Geni
"Kamu kan wanita, aku harus melindungimu.. Itu salah ya?" Ucap Justin sambil tersenyum
"Tidak si.. Tapi.. Sudahlah"
Justin menatap Geni lembut, dia tersenyum melihat gadis berambut coklat itu mengobati luka-luka kecil di tubuhnya akibat perkelahian tadi.
"Kau tau Geni, apa alasanku melakukan ini semua?" Tanya Justin. Geni menggelengkan kepalanya
"Kenapa?" Tanya Geni
"Akan kukatakan nanti malam" ucap Justin sambil tersenyum.
***
Malam harinya, aku bersiap dengan kaus putih, jaket warna hijau muda, jeans panjang serta sepatu boots kulit milik ka Kristen. Aku tak lupa memakai mantel dan syal malam itu. Aku kembali berpamitan dengan ayah dan ka Kristen.
Justin sudah menunggu di depan rumahku dengan mobilnya. Dia sungguh sangat tampan. Dia mengendarai mobilnya di malam gelap, kami berhenti di sebuah toko buku, dan membaca buku dan membel beberapa buku disana. Malam yang indah, sesaat sebelum pulang. Justin mengajakku bertemu di bukit belakang sekolah. Aku mengkonfirmasi undangannya itu. Kebetulan besok hari libur, tak ada kegiatan apa-apa di rumah.
***
Pagi itu, Geni sudah berdiri di tempat janji, matahari bersinar hari itu, jadi tak perlu jaket atau mantel yang cukup tebal siang itu. Dia sebenarnya datang 30 menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Tak lama Justin muncul dari sebuah belokan
"Am I late?" Tanya Justin
"No, you're not late" jawab Geni
"Come On" Justin menarik tangan Geni menuju hutan kecil di bukit itu.
Mereka mengobrol disana sambil terus berjalan tanpa tau kemana mereka menuju. Ada candaan khas Justin yang terselip di antara obrolan mereka. Dan Baru kali itu Geni merasakan dirinya senyaman dan sebahagia ini. Mereka sampai di sebuah danau yang sangat indah. Justin mengajak Geni untuk duduk disana.
Langit yang sedang mendung kala itu, menambah sensasi keindahan danau tenang di depan mereka berdua. Mereka masih terus mengobrol dan mengobrol. Sampai di satu detik, Justin dan Geni terdiam, entah apa alasan mereka terdiam. Angin lembut menyisir rambut Geni lembut.
"Disini indah sekali.. Selama 3 minggu aku kuliah dan mencari ilmu disini, aku baru tau tempat ini" ucap Geni
"Aku juga baru tau saat ini.. Ini pertama kalinha aku kemari" ujar Justin tanpa mengalihkan perhatiannya padamu sama sekali, Geni tersenyum. Justin membelai rambut Geni lembut.
"Geni, I hace to ask you something" ucap Justin tiba-tiba
"What's that?" Tanya Geni
"Since we met at 6 february 2013.. You know I always thinking of you, and I won't this feeling gone. So, Would you be my Girlfriend, and be a part of my life?" Tanya Justin sambil menggenggam tangan Geni erat dan menatapnya dalam.
Geni agak ragu dengan semua yang dikatakan oleh Justin. Tapi Justin meyakinkannya dengan mengangguk pelan. Geni mengangguk pelan. Dan membuat senyuman mengembang di wajah pemuda asal Canada itu berseri-seri seperti matahari yang baru saja kembali dari persembunyiannya. Geni juga tersenyum
"Thanks Geni, I Love You So Much.." Ucapnya sambil memeluk Geni erat.
***
Aku mengajak Justin berpindah tempat, aku mengajaknya ke suatu tempat yang entah kenapa aku ingin sekali mengajaknya kesana. Hutan itu memang mengerikan dimana akar-akar pohon bermunculan. Dan hitamnya tanah bercampur dengan salju-salju. Pohon-pohon disana juga tidak coklat seperti pohon biasa melainkan hitam seperti habis terbakar.
Justin duduk di atas sebuah akar yang lumayan tinggi, aku berdiri di bawahnya sambil menatap bola mata coklatnya yang sangat indah itu. Dia berdiri dan turun ke akar yang lebih rendah, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"You're so beautifull Geni, you're my misterious girl now?" Ucap Justin
"Misterious? What do you mean?"
"karena sikapmu yang misterius dan cendrung tertutup, sekaligus pendiam itu berhasil menarik perhatianku.. Karena itu aku menjulukimu Misterious Girl" jelasnya sambil tersenyum.
Posisi duduk Justin hanya berbeda 2 centi dengan tinggiku, aku mendekatkan wajahku bermaksud menciumnya, Justin tersenyum dia menyambut ciumanku.
***
Geni pulang diantarkan oleh Justin, sebelum dia turun, Geni meminta agar Justin segera mengenalkan dirinya secara formal pada keluarganya. Tanpa pikir panjang Justin langsung menjawab bahwa detik inipun dia sudah siap.
Geni melangkah masuk, dia menemukan ayahnya dan ka Kristen sedang berbincang di halaman belakang. Mereka berdua langsung menyambut kedatangan Geni. Geni berpelukan dengan Ka Kristen,lalu berkata
"Ayah, ka, ada yang ingin mengenalkann dirinya secara formal pada kalian berdua.. Bisakah kalian menerima kehadirannya?"
"Tentu" jawab ka Kristen
"Siapa dia? Apa dia kekasihmu?" Tanya ayahmu
"Ayah akan tau nanti" jawab Geni agak terbata
"Bawa dia masuk"
Geni mengajak Justin masuk.
"Eeem.. Selamat sore tuan Stewart, Kristen, aku Justin Bieber" ucap Justin "aku.. Teman Genilia"
Geni menatap mata Justin, dia tampak grogi, ayah Geni bangkit lalu berjabat tangan dengan Justin begitu juga dengan ka Kristen. Sementara Geni dan ka Kristen menyiapkan camilan di dapur. Justin berbincang dengan ayahnya
"Kamu berpacaran dengan Justin?" Tanya ka Kristen, Geni mengangguk
"Kuharap dia pertama dan terakhir untukmu Geni" ucapnya lagi sambil mendekap Geni lembut.
***
Singkat cerita, sudah 2 bulan Geni menjalin hubungan spesial dengan Justin. Seluruh kampus mengetahui hal itu, sampai saatnya kampus kalian akan mengadakan pesta dansa di malam minggu, minggu besok. Geni dan Justin janji akan datang kesana bersama-sama.
Keesokan harinya, Justin mengajakn Geni untuk bertemu dengan keluarganya, ia awalnya agak ragu tapi ini harus agar keluarga Justin tau siapa dia sebenarnya dan apa statusnya dengan Justin saat ini.
"Aku keluar dengan Geni dulu ya, Om.. Aku berjanji akan menjaganya selalu" ucap Justin
"Kupegang Janjimu" jawab ayah Geni
***
Aku dan Justin sampai di rumah yang dikatakan Justin sebagai rumahnya di Florida ini. Dia tinggal dengan ibu kandungnya disini. Tadinya bersama ayah dan mama tirinya tapi, kemarin keluarga itu kembali ke Atlanta karena Ayah Justin ada pekerjaan dan adik tiri Justin juga harus melanjutkan kelas musim dinginnya.
Aku berkenalan dengan wanita yang Justin bilang adalah cinta matinya. Aku tersenyum mendengar Justin mengatakan bahwa dia sudah memiliki selingkuhan baru. Itu lelucon yang lucu tapi tidak sopan rasanya bila aku tertawa di saat-saat seperti ini.
Aku menjadi akrab dengan wanita paruh baya yang sudah melahirkan Justin ini, dia sungguh ramah. Aku sangat menyukainya. Dia sosok ibu yang selalu kudambakan muncul dari ibuku yang aneh itu. Bukannya aku bermaksud mengejek ibuku, tapi terkadang dia memang aneh.
Tak lama Justin mengajakku ke sebuah tempat dimana dia sering menyendiri. Di halaman belakang rumah mewah itu tumbuh pohon Felicium yang sangat rindang. Pohon Felicium adalah salah satu pohon faforitku. Pohon besar ini punya keindahan sendiri, dan cocok sekali digunakan untuk teman curhat saat kau sedang sedih. Justin naik ke salah satu dahan yang ada di atasnya, dia menantangku untuk ikut naik. Dan Ok aku menerima tantangannya itu. Sejak kecil dulu aku memang memiliki bakat memanjat pohon, boleh kan aku berbangga untuk hal itu?.
Justin membisikan sesuatu di telingaku yang membuatku geli mendengarnya apa itu? Dia bilang "Your Love is my Drug". Dan bodohnya aku malas membalas perkataan Justin itu dengan menyanyikan bagian reff dari lagu Ke$ha itu. Kami malah bernyanyi bersama.
"Ayo, kita naik lebih tinggi lagi! Tadi hujan kan? Pasti sekarang akan muncul pelangi" ajak Justin. Aku menurut.
Kamu hampir ada di puncak pohon Felicium, dan benar apa yang dikatakan Justin disana ada pelangi, aku berdiri, sambil bersandar di batang terbesar pohon itu. Akupun berkata
"Kau tau Justin? Aku tak pernah sedikitpun percaya apa itu cinta setelah melihat ayahku menangis saat tau ibuku satu ranjang dengan laki-laki lain. aku sampai 2 bulan yang lalu berjanji pada diriku sendiri untuk tak pernah berniat untuk jatuh cinta pada siapapun, dan tertutup untuk pergaulan dengan lelaki" lirihku, Justin memegang daguku
"Aku takkan menyakitimu aku berjanji, jika aku tak bisa menepati janjiku. Lebih baik aku mati" ucap Justin
"Sssttt..." Aku meletakan jari telunjukku di bibir Justin "You are the only exception for me, you are my first love and I hope this is the last love for me" ucapku pelan persis seperti orang berbisik
"I hope too.. I want to spend all of mu life for you Genilia Stewart" ucap Justin sambil mengecup keningku lembut.
***
Di malam pesta dansa saat itu, pintu masuk pria dan wanita dipisah, itu di sengaja ditambah lagi kalian diharuskan memakai topeng yang menutupi daerah mata siapa saja yang memakainya. Disana sangat ramai, Geni yakin akan sangat sulit untuk mencari Justin. Diapun berjalan keluar dan besandar di sebuah gazebo yang disisinya dipasangi lampu kecil dia tak sendiri disana ada puluhan kunang-kunang yang menemaninya disana. Tak lama datang seorang lelaki yang mengajaknya berdansa, dia Justin, Geni mengetahui hal itu. Menerima ajakan Justin berdansa. Di balik pesta liar di dalam ruangan kalian terus berdansa berdua di dalam gazeebo itu.
Sebuah siang yang terik saat Geni sedang tertidur dengan buku khalil Gibran menutupi wajahnya di bukit belakang kampus. Justin mendatanginya dan duduk disamping Geni, dia melepaskan tas punggunya dan ikut berbaring di sebelahnya. Dia pelan-pelan menyingkirkan buku khalil Gibran tadi. Lalu membelai rambut Geni lembut, dia tersenyum. Posisi berbaring Justin lebih atas dibanding Geni. Geni terbangun dan melihat Justin disampingnya kemudian tersenyum.
"Hey Laddy" ucap Justin sambil tersenyum
"Hey Prince"
"Mimpi indah?" Tanya Justin
"Aku bermimpi kita akan terus seperti ini selamanya" kata Geni pelan
"Ooh.. Kalau begitu itu akan segera kubuat jadi kenyaataan." Geni menatap Justin dengan pandangan bingung,
"Karena sampai detik inipun aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu, dan melupakanmu yang selalu muncul di setiap mimpi indahku" rayu Justin
"Gombal deh" Ucap Geni dia bangkit dari posisinya berbaring, Justin ikut bangkit, dia iseng mencium pipi pasangannya itu lalu berlari
"Aaah!! Justiiiin!!!!! What are doing???!!"
"Catch me if you can" ledek Justin
"Ok, if you want that"
-End-
No comments:
Post a Comment